Selasa, 19 April 2011

Perluya dikaji ulang Ujian Nasional

Saya masih ingat semasa saya menyelesaikan pendidikan di SMEA, pada waktu ujian nasional tidak "menakutkan seperti saat ini", bagaimana tidak? siswa dihantui dengan standar nilai yang sudah dipatok, meskipun sekarang dengan perbandingan nilai 40 : 60.

Dan, yang lebih menyedihkan saya lagi selaku pendidik adalah :
1. Terkesan proses pembelajaran dari kelas 1 sampai kelas III tidak bisa membedakan mana siswa yang pandai dan mana siswa yang bodoh, karena dengan bisa saja siswa yang malas, bandel, nakal dsb akan lulus karena soalnya pilihan ganda, tapi alangkah kasihan bagi siswa yang baik, penurut, pintar karena "sesuatu hal" pada saat ujian tidak dalam kondisi "fit" ia tidak lulus. Hal ini sama saja artinya proses pembelajaran di sekolah yang 3 tahun hanya ditentukan oleh 6 jam!.
2. Terkesan pelaksanaan ujian nasional, sudah tidak mempercayai lagi kepada guru, sampai-sampai aparat keamanan diturunkan untuk mengawasi sampai depan kelas. Secara jujur sebagai guru tentunya masih mempunyai hati nurani. Guru masih memegang makna Tut Wuri Handayani.

Jika sudah demikian situasinya, lantas apa makna kita belajar, yang menurut para ahli bahwa belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dari yang jelek menjadi bagus, dari yang tidak tau menjadi tau.

Jangan salahkan siswa dan guru jika dimedia terdapat kekucarangan pelaksanaan ujian. Siswa dihadapkan pada pilihan yang sama-sama tidak enak.

Oleh sebab itu kiranya Ujian Nasional dilaksanakan untuk memetakaan standar sekolah bukan ditujukan untuk menentukan nasib siswa Lulus atau tidak lulus. Urusan Lulus dan tidak lulus serahkan kepada guru, karena merekalah yang tau pasti kondisi siswa-nya dalam proses pembelajaran di sekolah.